Karangan Non Ilmiah
1)
Definisi
Karangan Non Ilmiah
Adalah
satu ciri yang pasti ada dalam tulisan fiksi adalah isinya yang berupa kisah
rekaan. Kisah rekaan itu dalam praktik penulisannya juga tidak boleh dibuat
sembarangan, unsure-unsur sepenokohan, plot, konflik, klimaks, menyajikan fakta
pribadi tentang pengetahuan dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari,
bersifat subyektif, tidak didukung fakta umum, dan biasanya menggunakan gaya
bahasa yang popular atau biasa digunakan (tidak terlalu formal).
2)
Macam-macam
Karangan Non Ilmiah
a) Cerpen
b) Dongeng
c) Roman
d) Novel
e) Drama
3)
Ciri
Karangan Non Ilmiah
a) Emotif
b) Persuatif
c) Deskriptif
Subjektif
d) Kritik
tanpa dukungan bukti
4)
Perbedaan
Karangan Ilmiah dan Non Ilmiah
Pertama
Karya ilmiah harus merupakan
pembahasan suatu hasil penelitian (faktual objektif). Faktual objektif adalah
adanya kesesuaian antara fakta dan objek yang diteliti. Kesesuaian ini harus
dibuktikan dengan pengamatan atau empiri.
Kedua
Karya ilmiah bersifat metodis
dan sistematis. Artinya, dalam pembahasan masalah digunakan metode atau
cara-cara tertentu dengan langkah-langkah yang teratur dan terkontrol melalui
proses pengidentifikasian masalah dan penentuan strategi.
Ketiga
Dalam pembahasannya, tulisan
ilmiah menggunakan ragam bahasa ilmiah. Dengan kata lain, ia ditulis dengan
menggunakan kode etik penulisan karya ilmiah.
5) Karangan
Non Ilmiah
Biografi Dewi Sartika
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879
di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat
taat pada adat istiadat. Setelah lulus dari Sekolah Dasar ia tidak
diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh
orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil
sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena
takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan
buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya
di taman rumah dengan ditemani Simbok (pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di Negeri Belanda.
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di Negeri Belanda.
Beasiswa yang
didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh
orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut
suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk
mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan
Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya
tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga
dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”
Saat ini
mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau
berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai
awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam
berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi
seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan
Dewi
Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun
1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir,
sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga
meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda ,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal
ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan
sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai
kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan
seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain
di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah,
mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di
kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya
Alatbantubelajar.
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
Itu dab diajarkan oleh seorang perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa
memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan
sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung.
Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan
Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun
1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”.
Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua
aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian
ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid
yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda,
menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus
mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak,
bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi
menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian
dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun
sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi
Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran
juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik
anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa
berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang
berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi
biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih
payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan
batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah
semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan
Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan
perjuangannya baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di
beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang
dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di
kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki
usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan
Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang
belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini
menyeberang ke Bukittinggi, di mana sakola kautamaan istri didikan oleh Encik
Rama Saleh.
Seluruh wilayah Pasundan lengkap
memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920,
ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi
Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun,
yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya
dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa olehpemerintah
Hindia-Belanda.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
Jangan
tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu
berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua
bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan
‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas dari bentuk atau cara
perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk
bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika.
Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal
seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan,
yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang
pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun
berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya,
sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri
terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar